Tentang Pilihan
“lu pikir itu hal yang mudah?” Aku bertanya padanya. Kurasa mataku
pasti sudah berkaca-kaca.
“Bukan gitu maksudnya, Sya! Kalo lu butuh bantuan, gue pasti bantu
kok,” gadis itu mencoba meyakinkanku. Pandangannya menyiratkan kekhawatiran.
“Ga perlu, lu ga ngerti apa masalahnya, Re. Makasih udah mau
dengerin cerita gue.” aku langsung
berlari meninggalkan Rena termangu sendirian di bangku kantin. Ah, aku benci
kalau harus menangis di depan teman-temanku. Mereka pasti akan menilaiku
lemah. Oh, aku lupa, aku kan memang
lemah.
Aku berjalan menyusuri koridor sekolah, menuju gerbang, secepat
mungkin. Siang ini sekolahku terasa sepi, tiap hari Sabtu memang begini, banyak
yang lebih memilih untuk segera pulang dan mempersiapkan acara malam mingguan
mereka. Rasanya aku ingin cepat-cepat sampai di rumah dan menumpahkan airmataku
sepuasnya.
“Rasya!” panggil seseorang dari arah belakang. Aku kenal betul
suaranya. Aku mempercepat langkah, pura-pura tak mendengar. Berharap orang itu
tak punya cukup waktu untuk mengejarku.
“Rasya! Hei!” Teriak orang itu sekali lagi. Ia berlari dan menahan
lenganku. Langkahku terhenti.
“Kenapa?” tanyaku singkat, dengan wajah yang dibuat senetral
mungkin, berharap ia tidak bisa membaca apa yang sedang kurasakan.
“Kenapa? Lu yang kenapa Sya!” ia balik bertanya, matanya menatapku
tajam, seolah sedang berusaha membaca pikiranku.
“Loh? Gue? Gue gak kenapa-napa, Yud” kataku lagi, aku berusaha
sebaik mungkin bersikap pura-pura tidak tahu apa-apa.
“Bohong” sahutnya cepat. Ah, ya dia memang selalu tau kapan aku
berbohong dan kapan aku berkata jujur. Mana mungkin aku bisa membohongi orang
yang sangat dekat denganku.
“Aduh maaf Yud buru-buru banget nih, ditunggu nyokap gue di rumah.
Nanti gue sms ya. dah!” aku melambai dan cepat-cepat berlari meninggalkan
sekolah.
............................................................
............................................................
***
Siang ini hujan turun. Semua orang pasti mengenal hujan. Sebagian
orang mungkin tidak menginginkan kehadirannya, dan sebagian lagi akan merasa
senang bila hujan datang. Ya, sebagian orang akan berlari menghindarinya, dan
mencari tempat untuk berteduh. Dan sebagian lainnya akan berdiam diri di rumah
dan mendengarkan suara rintik-rintik hujan yang jatuh ke tanah. Aku suka hujan,
sangat suka. Karena disaat hujan, aku bisa menangis sepuas hatiku tanpa perlu
ada yang tau. Aku akan menceritakan keluh kesahku pada Hujan, jadi tak akan ada
seorangpun yang tau selain aku dan Hujan.
Aku menghempaskan diri ke tempat tidurku. Rasanya badan, pikiran,
dan hatiku sudah amat sangat lelah. Energiku sepertinya sudah terkuras habis.
Mungkin aku butuh istirahat. Aku memejamkan mata. Berharap semuanya akan
kembali normal saat aku terbangun nanti.
Belum satu menit aku memejamkan mata, handphone-ku bergetar. Dua kali. Aku meraih handphone-ku dari atas meja dan segera membuka kotak pesan masuk.
Benar, ada dua pesan masuk. Yang pertama, dari Rena, akupun membaca isi pesan
tersebut
From
: Rena
Rasya, maafin gue ya, gimana kalo besok kita
ngobrol bertiga bareng Yuda?
Lalu yang
kedua dari Yuda,
From
: Yuda
Sya lu kenapa sih? Kalo ada apa-apa tuh
cerita, jangan disimpen sendiri. gue tau tadi lu ga lagi buru-buru, tadi gue ketemu
nyokap lu di dekat Ruang Guru.
Yah,
ketauan juga kan bohongnya, pikirku. Aku lupa hari ini Mama bilang mau bertemu
dengan Bu Herna, walikelasku di kelas 3 sekarang. Tentu saja, Bu Herna pasti
mempermasalahkan hal itu lagi. Uh, kalau Mama pulang nanti, aku pasti akan kena
marah habis-habisan.
Aku sama
sekali tidak berminat untuk membalas pesan dari Rena dan Yuda. Memang sih,
biasanya aku akan cerita banyak pada mereka berdua, tapi tidak untuk kali ini.
Aku lebih memilih untuk menyimpan masalahku sendiri. Aku pasti bisa
menyelesaikan semuanya dengan kemampuanku sendiri.
Aku
me-nonaktifkan handphone-ku, dan mencoba memejamkan mataku sekali lagi.
***
Malam hari
sekitar pukul delapan, aku terbangun. Rupanya aku benar-benar kelelahan,
buktinya aku tidur selama 5 jam lebih. Tidak seperti biasanya. Aku baru teringat
kalau besok ada ulangan fisika. Aku akhirnya memutuskan untuk makan malam
terlebih dahulu sebelum berkutat dengan soal-soal hitungan fisika, yang
notabene aku sangat membencinya.
Aku
berjalan keluar dari kamar tidurku lalu menuju ke ruang makan. Disana kulihat
Mama dan Papa sedang duduk berdua, sepertinya sedang membicarakan sesuatu yang
penting. Ya, penghuni rumah ini memang hanya kami bertiga. Aku ini anak
tunggal. Biasanya anak tunggal terkesan dimanjakan orangtua mereka ya? tapi
tidak denganku. Aku malah merasa amat dikekang dan hidupku benar-benar harus
sesuai aturan mereka.
“Tumben,
Ma, Pa, jam segini udah dateng,” kataku sambil berjalan ke arah kursi yang
biasa aku duduki.
“Ada
sesuatu yang harus kita bertiga bicarakan, Sya.” Jawab Papa dingin. Kalau Papa
sudah bicara begitu, berarti aku akan kena masalah besar. Berarti benar-benar
ada hal penting yang harus dibicarakan. Sial, batinku.
“kamu tau
kan nilai ulangan harian kamu akhir-akhir ini?” Tanya Mama, langsung ke titik
permasalahan.
“tau, Ma.”
Jawabku sesingkat mungkin. Aku belum siap untuk membicarakan hal itu sekarang.
Sungguh, malas rasanya kalau harus berulang kali menjelaskan sesuatu yang tidak
ada satupun yang bisa mengerti kecuali diriku sendiri.
“turun
dengan sangat drastis, apalagi nilai mata pelajaran eksakta” kata Papa dengan
raut muka amat serius. Aku gemetar, lalu segera menunduk takut.
“maaf, Pa.
akhir-akhir ini Rasya…..” kalimatku terpotong.
“gimana
mau jadi Dokter kalau gini terus, Sya?” sergah Papa. Aku hanya bisa menunduk.
Ya, Papa dan Mama memang menginginkan aku menjadi seorang dokter, seperti
mereka. Tapi aku sama sekali tidak berminat, tolong garis bawahi ya, sama
sekali tidak. Aku memang tidak suka mata pelajaran eksakta, aku sudah berusaha
keras mempertahankan nilai-nilaiku, tapi permasalahan-permasalahan yang
belakangan ini muncul, selalu saja berhasil memecah konsentrasi belajarku.
“masalah
Osis lagi ya?” tembak Mama. Hebat, tepat sasaran! Aku terdiam.
“memang
ada apa lagi dengan Osis-mu itu Sya? Sudahlah tinggalkan saja, toh kamu
sekarang sudah kelas 3, tinggalkan semua ekskulmu, masih ada hal yang lebih
penting yang harus kamu pikirkan.” Kata Papa. Dadaku terasa sesak. Tidak
semudah itu, Pa, kataku dalam hati.
“pikirkan
masa depanmu Sya. Kamu akan jadi orang hebat kalau kamu berhasil jadi dokter!”
kata Papa lagi.
“Rasya kan
sudah pernah bilang, Rasya tidak mau jadi dokter,Pa.” kataku. Nada bicaraku
sedikit meninggi. Sungguh sulit sekali rasanya menahan emosi itu. Aku mengutuk
diriku sendiri yang tak bisa menahan diri untuk menyampaikan apa yang aku
rasakan.
“Rasya!”
Mama membentakku dengan suara berbisik. Aku kembali menunduk sedalam-dalamnya.
“coba kamu
lihat Rena temanmu itu, dia juga mau jadi dokter kan? Pasti dia akan jadi
dokter muda yang sukses. Dia juga gadis yang hebat” Lanjut Papa.
“Yuda
juga, dia pasti akan jadi seorang insinyur yang hebat seperti Papanya,” Mama
meneruskan.
Ah, kenapa
harus membanding-bandingkan lagi sih? Aku benci dibanding-bandingkan. Rena
memang ingin menjadi seorang dokter, ia memang cocok menjadi seorang dokter,
dan itu memang sudah cita-citanya sejak kecil. Yuda juga pasti akan menjadi
seorang insinyur yang hebat, dia memang ahli mata pelajaran eksakta dan dia
memang suka di bidang itu. Tapi aku berbeda dengan mereka. Aku tidak ingin
menjadi seorang insinyur, apalagi dokter. Aku punya pilihanku sendiri.
“tapi itu
mereka, Ma, Pa, bukan Rasya. Rasya punya pilihan Rasya sendiri,” kataku.
“apa?
Jurnalis? Apa hebatnya jadi seorang jurnalis? Kamu bisa apa Sya? Menjadi dokter
itu tugas mulia, Sya. Bekerja untuk membantu banyak orang. Dan menjadi seorang
insinyur itu juga merupakan hal yang hebat. Kamu harus berpikiran jauh ke
depan, jangan cuma ikut-ikutan teman! Anak jaman sekarang pikirannya selalu
begitu, maunya yang mudah saja,” kata Papa
“maaf Ma,
Pa, Rasya besok ada ulangan fisika. Rasya mau belajar dulu,” kataku dan
langsung berjalan menuju kamar tidurku. Hilang sudah nafsu makanku. Sekarang
aku harus cari cara supaya bisa fokus belajar fisika tanpa harus memikirkan
hal-hal lainnya.
Dua jam
berlalu dan kepalaku rasanya semakin berat saja. Pusing sekali. Aku memutuskan
untuk mengakhiri sesi belajar malam ini dan akan dilanjutkan besok pagi sebelum
subuh. Mungkin nanti otakku akan lebih bisa menerima rumus dan kumpulan angka
yang sangat rumit itu.
***
Aku
terjaga dari tidurku. Sinar matahari dari sisi luar jendela kamarku sudah
menghambur masuk memenuhi ruangan kamar. Di luar rumah pun sudah ramai
terdengar suara orang melakukan kesibukannya di pagi hari.
“sial gue
kesiangan!” rutukku. Aku bergegas membereskan catatan fisikaku yang berhamburan
di meja belajar dan langsung memasukkannya ke dalam tas ranselku yang berwarna
merah terang. Setelah itu aku berlari dan menyambar seragam putih-abu yang
sudah kusiapkan di depan lemari bajuku dan bergegas menuju kamar mandi. Saking
semangatnya, rupanya aku membanting pintu terlalu keras, sampai-sampai Mama
berteriak memarahiku dari ruang keluarga.
Selesai
mandi, aku berlari dan menarik ransel merahku dari atas kasur. Handuk yang aku
gunakan entah tadi kulempar kemana, semoga saja tidak masuk ke tempat
sampah. Aku benar-benar harus bergegas,
masalahnya jam pelajaran pertama adalah fisika, dan kemarin aku belum begitu
maksimal mempelajari materi yang akan diujikan hari ini. Hari ini Mama
menyiapkan Sandwich isi untuk sarapan kami. Sayang aku tidak punya cukup waktu
untuk duduk manis di meja makan dan melahap Sandwichku. Perutku kosong karena
semalam aku tidak makan. Tapi demi fisika, aku memutuskan untuk berangkat ke
sekolah tanpa membuang waktuku-yang-sangat-berharga untuk sarapan pagi. Mama
selalu menceramahiku panjang lebar masalah manajemen waktu. Dan kali ini Mama
kembali berteriak marah karena aku sama sekali tidak menyentuh Sandwich yang
sudah susah payah dibuatkannya.
“maaf Ma,
waktu Rasya lebih berharga untuk fisika daripada untuk sarapan” aku berteriak
sambil berlari keluar rumah. Memang benar bukan? Aku harus mendahulukan hal
yang lebih penting dan mendesak.
***
“sial, kenapa
ulangan fisika tadi susah banget sih?” kataku setelah guru fisika meninggalkan
kelas.
“tapi
lumayan loh Sya dibanding ulangan matematika,” Rena menimpali. Deg! Oh tidak,
apa hanya aku yang merasa kesulitan mengerjakan soal fisika tadi? Aku tau pasti,
Rena tidak bermaksud menyombongkan diri. Dan aku tau pasti, ulangan matematika
yang Rena maksud adalah ulangan minggu lalu tentang materi Matriks. Agak sulit
memang, tapi untuk pertama kalinya dalam 3 tahun terakhir, aku tidak harus
mengikuti remedial matematika, mungkin juga pertama dan terakhir ya hanya di
ulangan kemarin itu.
Apa aku
benar-benar kurang belajar? Apa tadi pikiranku terpecah lagi oleh masalah lain?
Tadi saat ulangan memang aku sempat mengingat LPJ Osis yang hanya tinggal
menghitung hari, dan aku juga teringat kata-kata Papa yang membahas tentang
dokter, dokter dan dokter.
Aku
memutuskan untuk menghabiskan waktu istirahatku di perpustakaan. Akupun
berjalan meninggalkan kelas.
“Rasya,
tunggu!” panggil seseorang dari arah belakangku, akupun menengok. Rena dan Yuda
rupanya.
“kenapa?”
tanyaku singkat
“kita ke
kantin yuk, udah lama ga ngobrol bareng kan?” kata Rena, ia tersenyum
memamerkan lesung pipi di kanan dan kiri pipinya.
“hmmm….”
Aku berpikir keras mencari alasan yang tepat untuk menolak, tapi…..
“ah, lama!
Udah ayo jalan!” Yuda menarik lenganku dan Rena mendorongku dari belakang. Oke,
sepertinya mereka tidak memberiku pilihan lain selain mengikuti mereka ke
kantin.
***
“Bunga
memang lemah, dan tak bisa apa-apa. Walaupun diselubungi pagar agar terhindar
dari hujan dan panas, bunga akan layu karena merindukan matahari. Kalau badai
datang, pagar sekokoh apapun, tak akan bisa jadi perisai” kalimat Yuda
membuatku merasa sesak. Aku tau betul quotes
yang barusan ia ucapkan. Beberapa baris kalimat dari komik Detective Conan yang memang sering kubaca.
“anggaplah
lu adalah bunga, dan sahabat-sahabat lu adalah matahari,” lanjutnya lagi.
“yes i know, gue memang sangat
membutuhkan kalian,” aku menunduk sedalam mungkin.
“terus
kenapa lu masih menyimpan semua masalah lu sendirian? Buat apa lu punya sahabat
kalo mereka ga bisa bantu lu menyelesaikan masalah lu,” ia terlihat marah
sekali. Ya, aku menyesal. Rena menatap Yuda dengan tajam, mengisyaratkan untuk
menenangkan diri.
“tentang
jurusan kan? Gue kan udah pernah bilang…….” Yuda masih mau melanjutkan, tapi
aku segera memotong kalimatnya.
“Ga ada yang dukung gue, Yud. Ga ada yang mau
ngerti. Bahkan orangtua gue pun masih bersikeras kalo gue harus jadi dokter,”
kataku dengan nada meninggi.
“kita yang
dukung lu, Sya. Gue tau lu bisa jadi seorang jurnalis yang hebat, dengan semua
kemampuan yang lu punya, dengan ketertarikan lu ke dunia sosial dan
bahasa, dengan sifat lu yang memang
mudah bersosialisasi dan suka berorganisasi, lu lebih cocok ambil jurusan
komunikasi” kata Yuda. Rena mengangguk mengiyakan kalimat Yuda tadi. Akupun
setuju dengan mereka berdua. Tapi tetap saja, orangtuaku-lah yang paling berhak
menentukan ke arah mana aku harus melangkah. Aku belum berani ambil resiko untuk
melawan apa yang mereka perintahkan untukku.
“Yuda
bener, Sya. Kita berdua dukung lu kok. Kita bertiga selalu bareng kan? Jadi
kita tau pasti apa yang lu mau dan apa yang udah jadi pilihan lu. Mungkin bisa
aja lu kuliah di kedokteran, atau mungkin teknik, seperti yang orangtua lu
bilang, gue sih yakin lu pasti sanggup buat lolos seleksinya, tapi bukankah
lebih baik kalo kita ngejalanin hal yang kita inginkan? Dengan begitu kita akan
ngejalanin dengan sepenuh hati, dan hasil yang didapat akan maksimal nantinya”
sekarang giliran Yuda yang mengangguk membenarkan kalimat Rena. Mereka berdua
memang sudah bisa berpikir lebih dewasa dibanding aku. Akupun memikirkan apa
yang mereka katakan padaku barusan.
“kalo lu
emang udah yakin sama pilihan lu, ya teruskan aja. Lakukan semaksimal mungkin
dan buktiin sama orang-orang di sekeliling lu bahwa apa yang lu pilih itu
merupakan pilihan yang tepat. Yang tau tentang lu ya diri lu sendiri, Sya” Yuda
kembali meyakinkanku.
“masalah
ortu yang ga ngedukung, mungkin lu harus ngelakuin semuanya secara seimbang,
lakukan semaksimal mungkin di semua titik, dan kita liat nanti hasilnya, di
sebelah mana kelebihan lu dan di sebelah mana kekurangan lu,” lanjutnya lagi.
Kami
bertiga terdiam selama beberapa menit. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Aku berpikir keras, mempertimbangkan langkahku selanjutnya. Benar apa yang
mereka katakan, aku lebih memilih dunia sosial dan bahasa dibanding eksakta.
Aku pun sadar kemampuanku di bidang eksakta memang kurang, dan sifatku ini
memang tidak cocok untuk berkecimpung di bidang tersebut.
“eh kok
malah nangis?” Tanya Rena panik. Ia segera mengambilkan sebungkus tissue
untukku.
“suatu
saat nanti, kita ga akan bisa kaya gini lagi. sharing, cerita banyak hal, ketawa-ketawa bareng, jalan bareng,
ngerjain tugas bareng….” Kalimatku terputus, airmataku mengalir lagi.
“waktu
kita tinggal sebentar lagi, Re, Yud…” aku berusaha menghapus airmataku.
“gue bakal
rindu banget masa-masa bareng kalian berdua….” Lanjutku. Kulihat Rena mulai
berkaca-kaca.
“gue ga
mau kehilangan kalian berdua, sahabat-sahabat terbaik yang pernah gue punya.
Gue takut berada di luar sana dan ga bisa nemuin teman sebaik kalian. Gue takut
ga bisa ketemu kalian lagi, gue takut……” Aku sesenggukan. Belum pernah aku
berkata seperti ini pada mereka sebelumnya. Mungkin gengsiku selama ini terlalu
tinggi.
Kami
bertiga terdiam. Rena mulai menitikkan airmata. Aku sedang mengumpulkan tenaga
untuk mengucapkan satu kalimat lagi, yang belum pernah kuucapkan sebelumnya.
Aku menghapus airmataku lagi dan mulai membuka mulut.
“gue
sayang sama kalian,” Airmataku malah makin membanjir. Aku tersenyum pada mereka
berdua. Tiba-tiba Rena memelukku dan ia menangis sejadinya.
“gue juga,”
Kata Yuda singkat.
“mungkin
berat buat berpisah, tapi memang nothing
last forever, Sya.” Lanjutnya. Aku mengiyakan dalam hati.
“suatu
hari nanti kita pasti ketemu lagi, saat kita bertiga udah sukses. Gue jadi
insinyur, lu jadi seorang jurnalis handal yang mungkin bekerja di perusahaan
media ternama, yang udah keliling Indonesia bahkan mungkin keliling dunia, dan
temen kita yang satu ini, yang bawel tapi cengeng, dia bakal jadi dokter yang
hebat, yang dibutuhkan semua orang” Yuda menjelaskan panjang lebar. Rena
memukul Yuda karena ia dibilang bawel dan cengeng. Yuda menghindar dan hanya
tertawa. Aku dan Rena pun ikut tertawa.
“makasih
banyak ya kawan, makasih banyak buat semua kebaikan kalian selama ini,” kataku
pada kedua sahabatku.
“that’s what friends are for” Yuda
menepuk bahuku pelan.
Aku
berjanji suatu hari nanti aku akan membuktikan bahwa apa yang aku pilih
merupakan hal yang terbaik untukku. Aku akan berusaha semaksimal mungkin mulai
hari ini. Suatu hari nanti pasti orangtuaku, sahabat-sahabatku, guru-guruku,
akan tercengang ketika melihat aku sudah menjadi orang sukses, menjadi orang yang berhasil. Mereka
pasti akan bangga padaku. Ya Allah, kumohon, kabulkanlah. Demi orang-orang
disekelilingku.
by: azalia ramadhani
Tags : #cerpen #TugasBahasaIndonesia #friendship
Tags : #cerpen #TugasBahasaIndonesia #friendship
No comments:
Post a Comment