Followers

Thursday, May 3, 2012

Tentang Pilihan

Tentang Pilihan

“lu pikir itu hal yang mudah?” Aku bertanya padanya. Kurasa mataku pasti sudah berkaca-kaca. 

“Bukan gitu maksudnya, Sya! Kalo lu butuh bantuan, gue pasti bantu kok,” gadis itu mencoba meyakinkanku. Pandangannya menyiratkan kekhawatiran.

“Ga perlu, lu ga ngerti apa masalahnya, Re. Makasih udah mau dengerin cerita gue.”  aku langsung berlari meninggalkan Rena termangu sendirian di bangku kantin. Ah, aku benci kalau harus menangis di depan teman-temanku. Mereka pasti akan menilaiku lemah.  Oh, aku lupa, aku kan memang lemah.

Aku berjalan menyusuri koridor sekolah, menuju gerbang, secepat mungkin. Siang ini sekolahku terasa sepi, tiap hari Sabtu memang begini, banyak yang lebih memilih untuk segera pulang dan mempersiapkan acara malam mingguan mereka. Rasanya aku ingin cepat-cepat sampai di rumah dan menumpahkan airmataku sepuasnya.

“Rasya!” panggil seseorang dari arah belakang. Aku kenal betul suaranya. Aku mempercepat langkah, pura-pura tak mendengar. Berharap orang itu tak punya cukup waktu untuk mengejarku. 

“Rasya! Hei!” Teriak orang itu sekali lagi. Ia berlari dan menahan lenganku. Langkahku terhenti.
“Kenapa?” tanyaku singkat, dengan wajah yang dibuat senetral mungkin, berharap ia tidak bisa membaca apa yang sedang kurasakan.
“Kenapa? Lu yang kenapa Sya!” ia balik bertanya, matanya menatapku tajam, seolah sedang berusaha membaca pikiranku.
“Loh? Gue? Gue gak kenapa-napa, Yud” kataku lagi, aku berusaha sebaik mungkin bersikap pura-pura tidak tahu apa-apa.
“Bohong” sahutnya cepat. Ah, ya dia memang selalu tau kapan aku berbohong dan kapan aku berkata jujur. Mana mungkin aku bisa membohongi orang yang sangat dekat denganku.
“Aduh maaf Yud buru-buru banget nih, ditunggu nyokap gue di rumah. Nanti gue sms ya. dah!” aku melambai dan cepat-cepat berlari meninggalkan sekolah.

............................................................


                                                                           ***
Siang ini hujan turun. Semua orang pasti mengenal hujan. Sebagian orang mungkin tidak menginginkan kehadirannya, dan sebagian lagi akan merasa senang bila hujan datang. Ya, sebagian orang akan berlari menghindarinya, dan mencari tempat untuk berteduh. Dan sebagian lainnya akan berdiam diri di rumah dan mendengarkan suara rintik-rintik hujan yang jatuh ke tanah. Aku suka hujan, sangat suka. Karena disaat hujan, aku bisa menangis sepuas hatiku tanpa perlu ada yang tau. Aku akan menceritakan keluh kesahku pada Hujan, jadi tak akan ada seorangpun yang tau selain aku dan Hujan. 

Aku menghempaskan diri ke tempat tidurku. Rasanya badan, pikiran, dan hatiku sudah amat sangat lelah. Energiku sepertinya sudah terkuras habis. Mungkin aku butuh istirahat. Aku memejamkan mata. Berharap semuanya akan kembali normal saat aku terbangun nanti. 

Belum satu menit aku memejamkan mata, handphone-ku bergetar. Dua kali. Aku meraih handphone-ku dari atas meja dan segera membuka kotak pesan masuk. Benar, ada dua pesan masuk. Yang pertama, dari Rena, akupun membaca isi pesan tersebut
                From : Rena
Rasya, maafin gue ya, gimana kalo besok kita ngobrol bertiga bareng Yuda?

Lalu yang kedua dari Yuda,

                From : Yuda
Sya lu kenapa sih? Kalo ada apa-apa tuh cerita, jangan disimpen sendiri. gue tau tadi lu ga lagi buru-buru, tadi gue ketemu nyokap lu di dekat Ruang Guru.

Yah, ketauan juga kan bohongnya, pikirku. Aku lupa hari ini Mama bilang mau bertemu dengan Bu Herna, walikelasku di kelas 3 sekarang. Tentu saja, Bu Herna pasti mempermasalahkan hal itu lagi. Uh, kalau Mama pulang nanti, aku pasti akan kena marah habis-habisan.

Aku sama sekali tidak berminat untuk membalas pesan dari Rena dan Yuda. Memang sih, biasanya aku akan cerita banyak pada mereka berdua, tapi tidak untuk kali ini. Aku lebih memilih untuk menyimpan masalahku sendiri. Aku pasti bisa menyelesaikan semuanya dengan kemampuanku sendiri.

Aku me-nonaktifkan handphone-ku, dan mencoba memejamkan mataku sekali lagi.

***
Malam hari sekitar pukul delapan, aku terbangun. Rupanya aku benar-benar kelelahan, buktinya aku tidur selama 5 jam lebih. Tidak seperti biasanya. Aku baru teringat kalau besok ada ulangan fisika. Aku akhirnya memutuskan untuk makan malam terlebih dahulu sebelum berkutat dengan soal-soal hitungan fisika, yang notabene aku sangat membencinya.

Aku berjalan keluar dari kamar tidurku lalu menuju ke ruang makan. Disana kulihat Mama dan Papa sedang duduk berdua, sepertinya sedang membicarakan sesuatu yang penting. Ya, penghuni rumah ini memang hanya kami bertiga. Aku ini anak tunggal. Biasanya anak tunggal terkesan dimanjakan orangtua mereka ya? tapi tidak denganku. Aku malah merasa amat dikekang dan hidupku benar-benar harus sesuai aturan mereka.

“Tumben, Ma, Pa, jam segini udah dateng,” kataku sambil berjalan ke arah kursi yang biasa aku duduki.

“Ada sesuatu yang harus kita bertiga bicarakan, Sya.” Jawab Papa dingin. Kalau Papa sudah bicara begitu, berarti aku akan kena masalah besar. Berarti benar-benar ada hal penting yang harus dibicarakan. Sial, batinku.

“kamu tau kan nilai ulangan harian kamu akhir-akhir ini?” Tanya Mama, langsung ke titik permasalahan.
“tau, Ma.” Jawabku sesingkat mungkin. Aku belum siap untuk membicarakan hal itu sekarang. Sungguh, malas rasanya kalau harus berulang kali menjelaskan sesuatu yang tidak ada satupun yang bisa mengerti kecuali diriku sendiri.

“turun dengan sangat drastis, apalagi nilai mata pelajaran eksakta” kata Papa dengan raut muka amat serius. Aku gemetar, lalu segera menunduk takut.

“maaf, Pa. akhir-akhir ini Rasya…..” kalimatku terpotong.

“gimana mau jadi Dokter kalau gini terus, Sya?” sergah Papa. Aku hanya bisa menunduk. Ya, Papa dan Mama memang menginginkan aku menjadi seorang dokter, seperti mereka. Tapi aku sama sekali tidak berminat, tolong garis bawahi ya, sama sekali tidak. Aku memang tidak suka mata pelajaran eksakta, aku sudah berusaha keras mempertahankan nilai-nilaiku, tapi permasalahan-permasalahan yang belakangan ini muncul, selalu saja berhasil memecah konsentrasi belajarku.

“masalah Osis lagi ya?” tembak Mama. Hebat, tepat sasaran! Aku terdiam.

“memang ada apa lagi dengan Osis-mu itu Sya? Sudahlah tinggalkan saja, toh kamu sekarang sudah kelas 3, tinggalkan semua ekskulmu, masih ada hal yang lebih penting yang harus kamu pikirkan.” Kata Papa. Dadaku terasa sesak. Tidak semudah itu, Pa, kataku dalam hati.

“pikirkan masa depanmu Sya. Kamu akan jadi orang hebat kalau kamu berhasil jadi dokter!” kata Papa lagi.

“Rasya kan sudah pernah bilang, Rasya tidak mau jadi dokter,Pa.” kataku. Nada bicaraku sedikit meninggi. Sungguh sulit sekali rasanya menahan emosi itu. Aku mengutuk diriku sendiri yang tak bisa menahan diri untuk menyampaikan apa yang aku rasakan.

“Rasya!” Mama membentakku dengan suara berbisik. Aku kembali menunduk sedalam-dalamnya.

“coba kamu lihat Rena temanmu itu, dia juga mau jadi dokter kan? Pasti dia akan jadi dokter muda yang sukses. Dia juga gadis yang hebat” Lanjut Papa.

“Yuda juga, dia pasti akan jadi seorang insinyur yang hebat seperti Papanya,” Mama meneruskan.

Ah, kenapa harus membanding-bandingkan lagi sih? Aku benci dibanding-bandingkan. Rena memang ingin menjadi seorang dokter, ia memang cocok menjadi seorang dokter, dan itu memang sudah cita-citanya sejak kecil. Yuda juga pasti akan menjadi seorang insinyur yang hebat, dia memang ahli mata pelajaran eksakta dan dia memang suka di bidang itu. Tapi aku berbeda dengan mereka. Aku tidak ingin menjadi seorang insinyur, apalagi dokter. Aku punya pilihanku sendiri.

“tapi itu mereka, Ma, Pa, bukan Rasya. Rasya punya pilihan Rasya sendiri,” kataku.
“apa? Jurnalis? Apa hebatnya jadi seorang jurnalis? Kamu bisa apa Sya? Menjadi dokter itu tugas mulia, Sya. Bekerja untuk membantu banyak orang. Dan menjadi seorang insinyur itu juga merupakan hal yang hebat. Kamu harus berpikiran jauh ke depan, jangan cuma ikut-ikutan teman! Anak jaman sekarang pikirannya selalu begitu, maunya yang mudah saja,” kata Papa

“maaf Ma, Pa, Rasya besok ada ulangan fisika. Rasya mau belajar dulu,” kataku dan langsung berjalan menuju kamar tidurku. Hilang sudah nafsu makanku. Sekarang aku harus cari cara supaya bisa fokus belajar fisika tanpa harus memikirkan hal-hal lainnya.

Dua jam berlalu dan kepalaku rasanya semakin berat saja. Pusing sekali. Aku memutuskan untuk mengakhiri sesi belajar malam ini dan akan dilanjutkan besok pagi sebelum subuh. Mungkin nanti otakku akan lebih bisa menerima rumus dan kumpulan angka yang sangat rumit itu.
                                                                          ***
Aku terjaga dari tidurku. Sinar matahari dari sisi luar jendela kamarku sudah menghambur masuk memenuhi ruangan kamar. Di luar rumah pun sudah ramai terdengar suara orang melakukan kesibukannya di pagi hari.

“sial gue kesiangan!” rutukku. Aku bergegas membereskan catatan fisikaku yang berhamburan di meja belajar dan langsung memasukkannya ke dalam tas ranselku yang berwarna merah terang. Setelah itu aku berlari dan menyambar seragam putih-abu yang sudah kusiapkan di depan lemari bajuku dan bergegas menuju kamar mandi. Saking semangatnya, rupanya aku membanting pintu terlalu keras, sampai-sampai Mama berteriak memarahiku dari ruang keluarga.

Selesai mandi, aku berlari dan menarik ransel merahku dari atas kasur. Handuk yang aku gunakan entah tadi kulempar kemana, semoga saja tidak masuk ke tempat sampah.  Aku benar-benar harus bergegas, masalahnya jam pelajaran pertama adalah fisika, dan kemarin aku belum begitu maksimal mempelajari materi yang akan diujikan hari ini. Hari ini Mama menyiapkan Sandwich isi untuk sarapan kami. Sayang aku tidak punya cukup waktu untuk duduk manis di meja makan dan melahap Sandwichku. Perutku kosong karena semalam aku tidak makan. Tapi demi fisika, aku memutuskan untuk berangkat ke sekolah tanpa membuang waktuku-yang-sangat-berharga untuk sarapan pagi. Mama selalu menceramahiku panjang lebar masalah manajemen waktu. Dan kali ini Mama kembali berteriak marah karena aku sama sekali tidak menyentuh Sandwich yang sudah susah payah dibuatkannya.

“maaf Ma, waktu Rasya lebih berharga untuk fisika daripada untuk sarapan” aku berteriak sambil berlari keluar rumah. Memang benar bukan? Aku harus mendahulukan hal yang lebih penting dan mendesak.

                                                                                                ***
“sial, kenapa ulangan fisika tadi susah banget sih?” kataku setelah guru fisika meninggalkan kelas.

“tapi lumayan loh Sya dibanding ulangan matematika,” Rena menimpali. Deg! Oh tidak, apa hanya aku yang merasa kesulitan mengerjakan soal fisika tadi? Aku tau pasti, Rena tidak bermaksud menyombongkan diri. Dan aku tau pasti, ulangan matematika yang Rena maksud adalah ulangan minggu lalu tentang materi Matriks. Agak sulit memang, tapi untuk pertama kalinya dalam 3 tahun terakhir, aku tidak harus mengikuti remedial matematika, mungkin juga pertama dan terakhir ya hanya di ulangan kemarin itu.

Apa aku benar-benar kurang belajar? Apa tadi pikiranku terpecah lagi oleh masalah lain? Tadi saat ulangan memang aku sempat mengingat LPJ Osis yang hanya tinggal menghitung hari, dan aku juga teringat kata-kata Papa yang membahas tentang dokter, dokter dan dokter.

Aku memutuskan untuk menghabiskan waktu istirahatku di perpustakaan. Akupun berjalan meninggalkan kelas.

“Rasya, tunggu!” panggil seseorang dari arah belakangku, akupun menengok. Rena dan Yuda rupanya.

“kenapa?” tanyaku singkat

“kita ke kantin yuk, udah lama ga ngobrol bareng kan?” kata Rena, ia tersenyum memamerkan lesung pipi di kanan dan kiri pipinya.

“hmmm….” Aku berpikir keras mencari alasan yang tepat untuk menolak, tapi…..

“ah, lama! Udah ayo jalan!” Yuda menarik lenganku dan Rena mendorongku dari belakang. Oke, sepertinya mereka tidak memberiku pilihan lain selain mengikuti mereka ke kantin.
                                                                            ***

“Bunga memang lemah, dan tak bisa apa-apa. Walaupun diselubungi pagar agar terhindar dari hujan dan panas, bunga akan layu karena merindukan matahari. Kalau badai datang, pagar sekokoh apapun, tak akan bisa jadi perisai” kalimat Yuda membuatku merasa sesak. Aku tau betul quotes yang barusan ia ucapkan. Beberapa baris kalimat dari komik Detective Conan yang memang sering kubaca.

“anggaplah lu adalah bunga, dan sahabat-sahabat lu adalah matahari,” lanjutnya lagi.

yes i know, gue memang sangat membutuhkan kalian,” aku menunduk sedalam mungkin.

“terus kenapa lu masih menyimpan semua masalah lu sendirian? Buat apa lu punya sahabat kalo mereka ga bisa bantu lu menyelesaikan masalah lu,” ia terlihat marah sekali. Ya, aku menyesal. Rena menatap Yuda dengan tajam, mengisyaratkan untuk menenangkan diri.

“tentang jurusan kan? Gue kan udah pernah bilang…….” Yuda masih mau melanjutkan, tapi aku segera memotong kalimatnya.

 “Ga ada yang dukung gue, Yud. Ga ada yang mau ngerti. Bahkan orangtua gue pun masih bersikeras kalo gue harus jadi dokter,” kataku dengan nada meninggi.

“kita yang dukung lu, Sya. Gue tau lu bisa jadi seorang jurnalis yang hebat, dengan semua kemampuan yang lu punya, dengan ketertarikan lu ke dunia sosial dan bahasa,  dengan sifat lu yang memang mudah bersosialisasi dan suka berorganisasi, lu lebih cocok ambil jurusan komunikasi” kata Yuda. Rena mengangguk mengiyakan kalimat Yuda tadi. Akupun setuju dengan mereka berdua. Tapi tetap saja, orangtuaku-lah yang paling berhak menentukan ke arah mana aku harus melangkah. Aku belum berani ambil resiko untuk melawan apa yang mereka perintahkan untukku.

“Yuda bener, Sya. Kita berdua dukung lu kok. Kita bertiga selalu bareng kan? Jadi kita tau pasti apa yang lu mau dan apa yang udah jadi pilihan lu. Mungkin bisa aja lu kuliah di kedokteran, atau mungkin teknik, seperti yang orangtua lu bilang, gue sih yakin lu pasti sanggup buat lolos seleksinya, tapi bukankah lebih baik kalo kita ngejalanin hal yang kita inginkan? Dengan begitu kita akan ngejalanin dengan sepenuh hati, dan hasil yang didapat akan maksimal nantinya” sekarang giliran Yuda yang mengangguk membenarkan kalimat Rena. Mereka berdua memang sudah bisa berpikir lebih dewasa dibanding aku. Akupun memikirkan apa yang mereka katakan padaku barusan.

“kalo lu emang udah yakin sama pilihan lu, ya teruskan aja. Lakukan semaksimal mungkin dan buktiin sama orang-orang di sekeliling lu bahwa apa yang lu pilih itu merupakan pilihan yang tepat. Yang tau tentang lu ya diri lu sendiri, Sya” Yuda kembali meyakinkanku.

“masalah ortu yang ga ngedukung, mungkin lu harus ngelakuin semuanya secara seimbang, lakukan semaksimal mungkin di semua titik, dan kita liat nanti hasilnya, di sebelah mana kelebihan lu dan di sebelah mana kekurangan lu,” lanjutnya lagi.

Kami bertiga terdiam selama beberapa menit. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Aku berpikir keras, mempertimbangkan langkahku selanjutnya. Benar apa yang mereka katakan, aku lebih memilih dunia sosial dan bahasa dibanding eksakta. Aku pun sadar kemampuanku di bidang eksakta memang kurang, dan sifatku ini memang tidak cocok untuk berkecimpung di bidang tersebut.

“eh kok malah nangis?” Tanya Rena panik. Ia segera mengambilkan sebungkus tissue untukku.

“suatu saat nanti, kita ga akan bisa kaya gini lagi. sharing, cerita banyak hal, ketawa-ketawa bareng, jalan bareng, ngerjain tugas bareng….” Kalimatku terputus, airmataku mengalir lagi.

“waktu kita tinggal sebentar lagi, Re, Yud…” aku berusaha menghapus airmataku.

“gue bakal rindu banget masa-masa bareng kalian berdua….” Lanjutku. Kulihat Rena mulai berkaca-kaca.

“gue ga mau kehilangan kalian berdua, sahabat-sahabat terbaik yang pernah gue punya. Gue takut berada di luar sana dan ga bisa nemuin teman sebaik kalian. Gue takut ga bisa ketemu kalian lagi, gue takut……” Aku sesenggukan. Belum pernah aku berkata seperti ini pada mereka sebelumnya. Mungkin gengsiku selama ini terlalu tinggi.

Kami bertiga terdiam. Rena mulai menitikkan airmata. Aku sedang mengumpulkan tenaga untuk mengucapkan satu kalimat lagi, yang belum pernah kuucapkan sebelumnya. Aku menghapus airmataku lagi dan mulai membuka mulut.

“gue sayang sama kalian,” Airmataku malah makin membanjir. Aku tersenyum pada mereka berdua. Tiba-tiba Rena memelukku dan ia menangis sejadinya.

“gue juga,” Kata Yuda singkat.

“mungkin berat buat berpisah, tapi memang nothing last forever, Sya.” Lanjutnya. Aku mengiyakan dalam hati.

“suatu hari nanti kita pasti ketemu lagi, saat kita bertiga udah sukses. Gue jadi insinyur, lu jadi seorang jurnalis handal yang mungkin bekerja di perusahaan media ternama, yang udah keliling Indonesia bahkan mungkin keliling dunia, dan temen kita yang satu ini, yang bawel tapi cengeng, dia bakal jadi dokter yang hebat, yang dibutuhkan semua orang” Yuda menjelaskan panjang lebar. Rena memukul Yuda karena ia dibilang bawel dan cengeng. Yuda menghindar dan hanya tertawa. Aku dan Rena pun ikut tertawa.

“makasih banyak ya kawan, makasih banyak buat semua kebaikan kalian selama ini,” kataku pada kedua sahabatku.

that’s what friends are for” Yuda menepuk bahuku pelan.

Aku berjanji suatu hari nanti aku akan membuktikan bahwa apa yang aku pilih merupakan hal yang terbaik untukku. Aku akan berusaha semaksimal mungkin mulai hari ini. Suatu hari nanti pasti orangtuaku, sahabat-sahabatku, guru-guruku, akan tercengang ketika melihat aku sudah menjadi orang  sukses, menjadi orang yang berhasil. Mereka pasti akan bangga padaku. Ya Allah, kumohon, kabulkanlah. Demi orang-orang disekelilingku. 

by: azalia ramadhani 

Tags : #cerpen #TugasBahasaIndonesia #friendship

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...